BANDUNG, bandungkiwari – Temaram lampu membentuk tubuh perempuan yang duduk seorang diri. Percakapan sunyi menggiring. Emosi membuncah keluar dari mulutnya. Pertanyaan dan pernyataan tentang cinta, benci dan kebahagiaan berkeliaran memenuhi langit-langit Graha Sanusi Universitas Padjadjaran Bandung, Jumat (21/2) sore itu.

Perempuan yang memertanyakan cinta itu adalah “Apun Gencay”. Tokoh yang sekaligus menjadi judul pementasan monolog dalam rangka peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional.
Pada 17 November 1999 silam United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) telah mengukuhkan tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional, dan diperingati setiap tahun sejak 2000 lalu.

Pementasan monolog yang diselenggarakan Pusat Digitalisasi dan Pengembangan Budaya Sunda Universitas Padjadjaran, bekerja sama dengan Program Studi Bahasa Sunda Unpad, PPSS dan LBSS merupakan salah satu acara yang dihadirkan setelah “Pasanggiri Tarucing Cakra”.

Monolog “Apun Gencay” berangkat dari naskah cerita pendek berbahasa Sunda karya Prof. Yus Rusyana yang disutradarai Asep Supriatna dan dimainkan oleh aktor Fani Hatinda.

Naskah yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia tersebut dilakukan sebagai upaya untuk lebih memperkenalkan sastra daerah di tingkat nasional.

Naskah Apun Gencay sendiri menceritakan sosok perempuan Desa Cikembar berparas cantik, bertubuh molek. Kecantikannya sebagai gadis desa membuat banyak lelaki tergoda. Namun hatinya teguh tertambat pada seorang pemuda Cipamingkis, yang berjanji akan menikahinya usai panen.

Akan tetapi keinginannya menikah harus hancur ketika Dalem (Bupati) Cianjur memintanya untuk menjadi istri muda, melalui kedua orangtuanya. Apun tak mampu menolak kuasa Dalem yang sangat feodal saat itu.

Seiring berjalannya waktu cinta pun hadir dalam hati Apun. Sang Dalem yang tampan, gagah dan terkenal itu memerlakukannya degan baik, meski dirinya harus menjadi selir.

Namun kebahagiaan yang dirasakan Apun harus berakhir tragis. Sang Dalem tewas ditusuk seseorang, yang tiada lain adalah pemuda yang dulu akan menikahinya. Dua lelaki yang dicintainya pergi meninggalkan Apun yang harus menanggung beban fitnah masyarakat, jika dirinyalah penyebab kematian sang Dalem. (Agus Bebeng)